Kita bertemu kembali dalam kebingungan. Soal sapa menyapa menjadi persoalan yang serba salah. Aku pikir hanya jatuh cinta yang bisa membuatku berlagak dungu setiap menatap matamu. Nyatanya, penolakan mengutukku menjadi seonggok daging hidup yang tidak berguna sama sekali. Kau berjalan pelan-pelan ke depan meninggalkanku yang terseok di belakang. Barangkali kau benar, waktu adalah obat yang paling mujarab dari rasa hina, ia mengubah sakit yang luar biasa menjadi hal yang akan aku tertawakan. Namun, kau lupa satu hal bahwa kenangan menyisakan residu asam di dinding tenggorok dan tanpa aba-aba selalu memunculkan gatal.
Barangkali kita pernah bersama dalam tawa sampai mata kita tertutup rapat, mengilhami setiap udara yang masuk ke dalam rongga-rongga. Memori mataku masih menyimpan senyum manis yang tersimpul dari bibir tipismu. Ketajaman penciumanku masih mengingat wangi rambut yang selalu kau sisakan sedikit helainya untuk dikuncir. Kau masih saja sama, tidak peduli seberapapun aku memuji. Menganggapku sebagai bagian dari formalitas hidupmu bahwa mengasihi orang lain adalah kewajiban yang harus kau tuntun. Sehingga kau lupa, tak semua orang paham maksudmu.
Aku yang berlari mengejarmu sampai ke ujung belokan hanya untuk melepas “halo”, kau jawab dengan ketidakikhlasan dihadapan teman-teman, lantas meninggalkanku di persimpangan jalan dengan cuaca kepalang dingin. Mencintaimu kembali sama saja menanam ranjau, realita menjadi injakan yang memicu ledakan.
Kini aku hanya mampu menatapmu diam-diam. Melakukan hal-hal pretensius sederhana, memalingkan muka, berpura-pura tak peduli, dan membuat keadaan menjadi biasa sebagaimana rupa. Aku tidak pernah menyangka bahwa penolakan adalah rasa pahit paling tengik di pangkal lidah. Yang aku tahu, memilikimu tidak sesederhana itu, lebih kompleks dari mengerjakan algoritma.
Semesta memeranjatkanku pada jarak yang semakin jauh. Kamu yang menjauh hanya mendekatkanku pada luka dan kesepian. Kukira itu ganjaran yang pantas. Kamu menjaga jarak, aku menjaga perasaan dan luka memberi pesan bahwa kebahagiaan tidaklah kekal.
ngena, lee, ngenaaa 😥
sakitnya tuh disini nunjuk dengkul
haduuuhh kenapa hatiku mendadak tercabik pahit
sepertinya… sakiiiiiiiiiit banget
aduh, baper bacanya 😦
Uhuk.. *usap usap hati dan perasaan
Time will heal Van. Life will still go on. Semoga bisa cepet move on ya.
kata bang Meggy Z mending sakit gigi #ehhh
mungkin disuruh menoleh ketempat lain, biar lukanya tinggal di sisi satunya, akhirnya tertinggal.
Aiiihhh… pedih.
Butuh bahu gak bang?
Sini sama saya, sama2 kita bersandar di bahu jalan. Huehehe..
Sakit hati bs berlagak dungu loh
Ko sama ya?