Berita itu memekik di pikiranku sejak kemarin membuyarkan segala yang telah kurencanakan. Aku mencoba biasa saja, tapi tak bisa. Berita itu terus meneriaki telinga setiap kali aku coba melupakannya. Asu buntung! Hal seperti ini harus kutanggung di saat aku dan dirinya sedang bahagia-bahagianya.
Pekik yang mengabarkan berita itu memang terdengar dekat sekali. Terus menggateli daun telingaku, merogoh isi otakku, dan membuatku bertingkah seperti anak kehilangan mainan. Awan terus saja menyirami bumi sepanjang Sore. Sepertinya hujan bekerja sama membuat keadaan lebih pedih. Membuat sore lebih lama dari biasanya, seolah tiap rintik hujan yang jatuh menggambarkan rasa haru yang kurasa.
Hujan ini yang sedari tadi memaksa kita dalam kepongahan luar biasa, aku dengan pikiranku, Ia dengan pikirannya, berdiam diri seperti tak mengenal kata sapa dan mengatur jarak yang cukup jauh seolah aku adalah najis yang teramat nista.
Sirine palang pintu kereta api, sampai bapak yang sedari terik menjajakan payung tak berhasil membuat kepalanya kembali tegak. Ia terus saja menunduk memandangi koloni semut yang sedari tadi sibuk berbaris-baris, seolah hanya merekalah yang mengerti.
“kau tidak lagi menyukai tanah basah karena hujan?” mataku berkelana ke wajahnya
“untuk saat ini tidak, ia hanya akan menjadi kubangan lumpur yang berisikan jentik-jentik nyamuk lalu kering akibat lindasan kendaraan yang lewat” ia langsung mengunci mulutnya rapat-rapat
Saat itu, Ia lebih sensitif dari putri malu, segala hal yang coba menyentuhnya, Ia lebih memilih menutup diri daripada menanggapinya. Barangkali ia tidak sadar bahwa diamnya wanita lebih menikam dibanding pisau yang sering dipakai ibuku mengoyak daging.
Dadaku penuh sesak dengan kegelisahan. Jarak yang kita buat tak kunjung rekat. ia lebih memilih memainkan ujung jarinya untuk memutus lajur semut yang sedari tadi dipandangi. Memang, meratap adalah pilihan sementara yang harus kita pilih. Sembari menunggu kenyataan membawa angin segar atau justru membuat kita masuk angin.
“aku tidak mengerti lagi perangai ibuku. Ia mencederai harapan yang selama ini kususun rapi” ia menusuk-nusukan lidi ke lubang semut
“tidak apa-apa, manusiawi. Kita harus dibenci dulu seperti ulat, sebelum diagung-agungkan selayak kupu-kupu” tutupku lemas
Memang terkadang kejujuran dapat melukai perasaan namun akan mengakhiri rasa penasaran hati kita. Sehingga kita dapat menentukan tujuan yang lebih jelas bukan tujuan yang diam dalam hayal.
Setelah ini, rindu berubah menjadi benar menjadi luka. Rindu akan menatap matamu dengan secangkir kopi sampai tengah malam menunggu hujan yang tak kunjung reda atau rindu akan canda tawa kita di sofa membicarakan keburukan orang lain, menertawakannya, seolah kita menjadi makhluk yang paling sempurna di mata Tuhan. Sampai pada satu pelukan terakhir yang selalu menutupi tiap perbincangan kita lalu kamu membisik pelan “I love you”.
Situasi stasiun mulai ramai dengan orang pulang kerja, kita masih saja terbatasi oleh tembok yang kokoh. Diamlah yang akhirnya kita pilih, membiarkan waktu berjalan melaksanakan tugasnya.
“sampai kapan kita mau di sini terus?” ia mulai mengangkat kepala, alis matanya bertemu, matanya terlihat penuh
entah kutukan apa ini. Aku tiba-tiba bisu, pertanyaannya tak kujawab.
pelan-pelan ku angkat kepalaku kemudian memandangnya. Namun aku tiba-tiba bisu, pertanyaannya tak kujawab. ada air mata yang menggembung di pangkal matanya menunggu angin yang akan menjatuhkannya ke tanah. Air mata yang sejak tadi berteriak “aku muak dengan semua ini”
Sampai pada satu percikan air akibat injakan orang lewat menggesernya ke tempat yang lebih teduh. Kemudian menggelayutkan diri ke lenganku, lantas bertingkah polos seperti pertama kali kita bertemu.
😦
baper, kak 😦
sukur
Sepanjang postingan sedih tapi akhirnya kok bahagia ya Van. Salah ngerti gak sih gw?
gak bahagia, tapi lelah dengan keadaan..
Wah. Sama sedihnya juga ya Van. Huhuhu
putus?
nope
Susunan kata katanya membuat saya ikut terlena.. 😦
terlena aku baca cerita ini bah hahaha
Semacam lelah, ingin kembali seperti semula namun tidak ada tenaga lagi
Wih keren van website nya,
baru sekali ini gua berkunjung.
tinggalin jejak dlu lah..
Ungkapan ASU BUNTUNG mengingatkanku akan seorang sastrawan hebat : AHMAD TOHARI dalam Ronggeng Dukuh Paruk. hehehehe…!!!! Met weekend mas
iya betul, mas. saya comot dari situ, kok hahaha
cuma tokohnya bukan srintil 😛
Baca ini pas hujan-hujan… rasanya tuh… ^%$&$
Udah lama ga baca cerpen. Pas baca cerpen di atas langsung mengalir begitu saja. Enak alurnya. Cuma ada beberapa kata yang bikin berhenti baca, misalnya kata “menggateli”. Itu ada di EYD ga ya? 🙂
Iya, gak ada mas. aku kekurangan diksi 😦
Great. Ceritanya menarik, suka deh sama pemakaian kalimat-kalimatnya. Oh iya salam kenal ya. :))
Hmmm …. kebayang bagaimana rasanya jika berada di posisi seperti tergambar di paragraf 16
asik kak alur cerpennya, jadi pengen nulis cerpen lagi, gara-gara baca tulisan ini 🙂
Jujur memang selalu lebih baik, meski kadang harus merasa sakit..
ceritanya menarik, mengharukan dan melalahkan